Disetubuhi Keponakan Kekar


Hari itu aku pulang agak cepat karena ada beberapa klien yang mengubah jadwal appointmentnya, aku turun
didepan pagar danmeminta Pak Supir untuk langsung menuju kantor suamiku, toh aku tidak
ada rencana pergi lagi hari ini. Suasana rumah terasa sepi, aku melirik jam tanganku, pantas…
baru pukul dua lewat sekarang ini, masih siang dan kedua anak–anakku belum pulang dari
sekolah, yang bungsu sekarang sudah SMP kelas 1 dan kakaknya SMP kelas 3, kuingat mereka
mengatakan siang ini ada Eskul
sehingga pulang agak sore. Saat melewati kamar di lantai
bawah, aku tercekat…kudengar
suara nafas yang agak memburu
dan desah tertahan…dan semakin
jelas ketika aku mendekat,
kulihat pintu kamar tidak tertutup rapat dan ada sedikit celah yang
memungkinkan aku bias melihat
isi kamar dari pantulan cermin
yang terletak berserangan
dengan letak pintu, dan kini aku
yang terhenyak. Suatu perasaan ‘menggelitik’
mulai menerpaku…turun ke
kebawah ke antara kedua kaki
ku…aku tahu kalau kemaluanku
mulai melembab menyaksikan
pemandangan itu. Dari pantulan cermin kulihat Dino,
keponakan suamiku telentang
diatas ranjang, telanjang dan
tangannya sedang menggenggam
kemaluannya, bergerak teratur
naik turun, tentu saja aku tahu kalau pemuda itu sedang
bermasturbasi, namun yang
membuatku terpana adalah
kemaluannya itu…, besar dan
panjang…sekilas terlihat kalau
genggaman tangan pemuda itu sama sekali tak menutupi kepala
kemaluannya yang Nampak
merah dan berkilauan. Dino masih mendesah perlahan
dan tiba tiba ia mempercepat
gerakan tangannya lalau
tubuhnya mengejang dan dari
kepala kemaluannya keluar
dengan semprotan yang cukup keras melambung keudara dan
cairan itu mendarat didadanya,
beberapa kali kepala kemaluan
itu Nampak menyemprotkan
cairan dan akhirnya dengan lesu
tangan pemuda berusia 20 tahun itu mengendur dan menggapai
tissue di meja sisi ranjang Aku yang sempat terpana segera
sadar dan cepat cepat menuju
kamarku, kalau saja sampai
terlihat, aku…tantenya
menontonnya bermartubasi
wah…………… Ketika aku mengganti pakaian
dengan baju santai.. aku baru
menyadari kalau celana dalamku
ternyata sangat basah…………… Tanganku sudah menyelinap
kedalam celana dalam yang
kukenakan.. dan jari-jariku
memainkan clitorisku.., aku
semakin basah…dan pikiranku
semakin menerawang membayangkan kemaluan muda
yang besar dan kekar itu………,
dan akhirnya….dengan lenguhan
dan desah tertahan aku mencapai
orgasme ku…ah…tapi tak
senikmat yang kuinginkan. Perkawinanku sudah menginjak
tahun kelima belas, aku tidak bisa
mengatakan kalau aku tidak
bahagia, suamiku baik, perhatian,
dengan 2 anak yang sehat dan
memenuhi harapan setiap orang tua, namun aku juga tidak bias
mengatakn kalau aku puas
dengan kehidupan sexku. Suamiku selain sibuk juga hanya
menjadikan sex sebagai
pemenuhan kewajiban, memang
setiap kali kami berhubungan sex
aku bias terpuaskan, namun
frekuensi yang jarang, kadang belum tentu seminggu sekali
sesungguhnya jauh dari yang
sesungguhnya kuharapkan. Untunglah aku juga memiliki
kesibukan, sebagai beauty
consultan sebuah perusahaan
kosmetik terkemuka aku
memiliki jadwal yang cukup
padat, namun berselingkuh sungguh sebelumnya tidak
pernah terlintas dalam pikiranku. Sambil rebah aku terus
menerawang ………pada awalnya
aku agak keberatan ketika
suamiku menyampaikan bahwa
Dino keponakannya yang hendak
melanjutkan kuliah di kota kami untuk sementara akan tinggal di
rumah kami sampai
mendapatkan tempat kost yang
sesuai.
Aku merasa bahwa kehadiran
orang lain akan mengganggu privacy kami yang selama ini
tenang, di rumah kami hanya
berempat, aku, suamiku dan
kedua anakku yang masih SD dan
SMP, serta seorang pembantu
yang sudah lama ikut kami. “Pikirkanlah ma…” kata
suamiku ketika untuk kesekian
kalinya menanyakan jawabanku,
“Dulu papa sempat dibantu oleh
Tante Ina, ibunya Dino ketika
kuliah dan almarhum Oom Broto masih hidup, Papa pikir paling
tidak bisalah membalas budi baik
mereka dulu, dan Papa
dengardino itu anak yang baik,
sopan dan malah bias membantu
Andre dan Tony dengan pelajaran mereka kan ?” suamiku
mencoba meyakinkanku. Aku mengalah dan berpikir tidak
ada salahnya mencoba lagi pula
kami masih ada kamar kosong
dilantai bawah. Ketika Dino datang aku cukup
senang karena pemuda yang
kecilnya kurus itu kini telah
menjelma menjadi pemuda yang
tinggi, kekar, lumayan ganteng
dan memiliki sikap yang sopan, pun setelah dia tinggal dirumah
kami pemuda itu tetap sangat
sopan dan ringan tangan,
membantu semua yang bisa
dikerjakannya, anak anak pun
senang karena dengan senang hatiDino membantu pelajaran
mereka. Selama beberapa bulan ini tanpa
terasa Dino sudah menjadi bagian
dari keluarga kami, dan aku tidak
pernah sebelumnya memandang
Dino sebagai seorang lelaki. Namun kejadian tadi secara total
mengubah pandanganku……………… Rasa penasaran yang sedemikian
besar mebuatku ingin mengetahui
lebih jauh tentang pemuda itu,
aku keluar dari kamar dan
menuruni tangga sambil
memanggilnya. “Din…Dino…sibuk ?” tanyaku
ketika aku melihatnya
“Nggak tante…ada yang bisa
dibantu?” tanyanya dengan
sopan, pemuda itu sudah keluar
dari kamarnya, dan tentu saja sudah mengenakan jeans dan
kaos yang mencetak tubuh
kekarnya.
“Tante lapar… boleh nggak
tolongin tante beliin nasi bungkus
di restoran padang?, kalau nyuruh si bibik nanti lama, kamu
kan naik motor pasti lebih cepat,
beli 2 bungkus ya.. kamu temenin
tante makan” kataku lagi.
“Baik tante” jawabnya dan
setelah menerima uang yang aku berikan ia melesat pergi Setelah suara deru motornya
terdengar menjauh aku bergegas
ke kamarnya, masih kutemukan
tissue yang telah teremas dan
tergeletak dimeja disamping
tempat tidurnya, dan kulihat kalau laptopnya masih dalam
keadaan menyala.
Dengan cepat aku mencoba
melihat isi computer pemuda itu
dan sungguh terperanjat aku
melihat di my picture foto foto ku terpampang disana. Foto foto itu adalah foto-foto yang
dibuat saat kami rekreasi, makan
di restoran dan segudang
kegiatan lain, namun sudah di
cropping dan tertinggal hanya
diriku seorang, semua diberi nama dengan awalan ‘tanteku
yang cantik’ Aku tidak berani terlalu lama
membongkar data data yang ada
karena selain tidak terlalu mahir,
juga agak schok dengan
kenyataan yang ada…Dino..? …
Menilaiku cantik ..? “Tumben kamu dirumah, nggak
ada kegiatan hari ini ?” tanyaku
sambil menikmati nasi bungkus
yang tadi dibeli.
“Nggak Tante.. hari ini
kebetulan jadwal kuliah kosong” jawab Dino
“Kok nggak ke pacar kamu?”
tanyaku lagi sambil menjangkau
gelas minum
“Wah..nggak punya Tante, selain nggak ada yang mau juga Dino mau cepet cepet selesai kuliah”
katanya dengan wajah memerah.
“Nggak ada yang mau ?..mana
mungkin ..kamu tuh ganteng lho..,
kamu ‘kali yang nolak terus”
kataku lagi. “Iya ..Tante, nggak ada yang
mau..” wajah anak muda itu
semakin memerah.
“Ok.. deh..” kataku setelah
meneguk minumanku, “Tante
mau istirahat dulu ya…, mumpung pas bias pulang siang…” kataku
sambil meninggalkan ruang
makan menuju kamar dan sambil
berjalan aku merasa betapa mata
anak muda mengawasi ayunan
pinggulku saat berjalan. Hampir aku terlelap ketika suara
ramai menggetarkan gendang
telingaku…dan anak anakku
menerobos masuk kamar,
mengucapkan salam dan
bergantian mengecup pipiku, pikiran dan perhatiankupun kini
kembali ke dunia ‘nyata’ dan
kesibukan sebagai Ibu rumah
tangga berlangsung seperti biasa. “Aduh Pa..Mama nggak bisa,
besok ada presentasi dan
seminar penting, dan Mama harus
menyajikan materi yang telah
disiapkan team dihadapan para
audience” jawabku ketika suamiku memintaku untuk
menemaninya menengok kebun
kami di daerah pegunungan.
“Tapi kan besok hari Sabtu..izin
sajalah, kasihan anak – anak,
Papa sudah janji sama mereka” kata suamiku lagi.
“Habis Papa sih.. bikin rencana
nggak ngomong dulu.., nggak
mungkin Mama membatalkan
begitu saja, siapa yang bisa
menggantikan ?, ajakDino juga biar ada yang bantu papa jaga
anak – anak” jawabku lagi.
“Hmm.. sudah kuajak, tapi
besok dia ada ujian katanya”
suamiku menjawab.
“Ok..lah, tapi si Bibik dibawa ya Ma, biar dia bantu mengawasi
anak – anak, soalnya Mang Abdul
penjaga kebun kita sudah wanti-
wanti kalau masalah pagar
disana sudah mendesak..nanti
kalau ada yang nyerobot jadi repot” suamiku akhirnya
mengalah. “Boleh, ajak aja si Bibik, Mama
juga akan lebih
tenang..”jawabku, Bibik
pembantu kami itu sudah ikut
kami sejak aku masih kecil dan
setelah aku berumah tangga aku memamng minta kepada orang
tuaku agar Bibik bisa ikut aku,
pada usianya yang menjelang 60
tahun dia masih sangat sehat dan
mampu mengerjakan semua
sebaik dulu. Pukul dua siang seminar dan
presentasi produk baru sudah
selesai dan aku segera meluncur
pulang, di mobil aku sempat
menelpon anak – anak dan
antusiasme dalam suara mereka sedikit banyak membuatku
merasa tidak enak…untunglah
mereka bergembira pikirku. “Bu masih ada rencana
pergi..?” Tanya pak Udin sopir
yang juga sudah lama ikut kami.
“Tidak Pak., kenapa..?”
tanyaku
“Kalau boleh saya mau ijin Bu, anak saya hari ini dating dari
desa..kangen juga sudah lama
nggak ketemu”jawab sopir tua
dengan sopan.
“Oh..boleh Pak.. “ kataku
member ijin. Setelah memarkir mobil di garasi
pak Udin pamit dan aku masuk
rumah yang kali ini benar benar
sepi. “Lho..sudah pulang tante..?”
suara Dino mengejutkanku
“Sudah selesai seminarnya, dan
kamu katanya ujian..? jawabku
sambil bertanya.
“Sudah tadi tante.. dari Jam 8.00 sampai jam 12.00, habis itu
langsung pulang” jawab pemuda
itu.
“Kamu sudah makan..?”
tanyaku lagi.
“Juga sudah..tante sudah makan ?, kalau belum biar Dino
siapkan” katanya menawarkan
diri.
“Sudah tadi diseminar tapi kalau
nggak keberatan bikini tante
minuman dingin dong…dikulkas kayaknya masih ada juice ..”
kataku
“Baik Tante” jawab pemuda itu
patuh.
“Trims.., Tante salin baju dulu
ya..? kataku sambil melangkahkan kakiu naik tangga
menuju kamarku. Setelah membersihkan diri, aku
mengikat rambutku ekor kuda,
dan aku agak lama menentukan
pakaianku…..tiba tiba saja
terbersit pikiran nakalku ingin
menggoda pemuda itu. Akhirnya aku memilih baju
longgar dan rok mini yang biasa
kugunakan saat main tennis, aku
sengaja tidak mengenakan BH
sehingga payudaraku
menggantung bebas, dengan tinggi 160 Cm, berkulit putih, aku
tidak memiliki payudara seperti
Pamela Anderson, tapi dengan
usia yang menjelang 40,
payudara dengan BH No. 36 B
masih tegak dan belum terlalu turun.
Wajahku tidaklah terlalu cantik,
mataku agak sipit, maklum
keturunan Chinese, tapi aku tahu
kalau aku cukup menarik dengan
hidung mancung dan bibir yang penuh walau tidak tebal. Ketika aku melangkah turun
sekilas kulihat Dino menatapku
dengan terpesona, namun aku
berpura-pura tidak
menyadarinya dan sambil
menerima gelas juice yang diangsurkannya aku
mengajaknya duduk disofa depan
TV. Dan dengan patuh Dino
menurut, kulihat tangannya
membawa sebuah buku. Siang hari begini mana ada acara
TV yang menarik?, maka akupun
mengajaknya ngobrol. “Buku apa itu Din..?’”
tanyaku.
“Oh.. ini .. tentang akupunktur
dan anatomi serta susunan syaraf
manusia Tan…” jawabnya
“Lho..kamu ini kuliah di ekonomi atau mau jadi
akupnktur?”
“Ah…ini sekedar iseng … buat
nambah pengetahuan..habis jenuh
belajar ekonomi terus..buta
refreshing..gitu..” jawabnya lagi.
“Biasanya anak muda tuh kalau
refreshing baca nya buku
porno” jawabku sembarangan.
“Ah..Tante..nggak semua dong
begitu” jawabnya dengan wajah anak muda itu memerah dan dari
sudut mataku aku menilainya,
dengan tinggi diatas 170 Cm, rutin
kefitness menjadikannya kekar
dan berisi dengan perut yang
rata, rambut ikal bergelombang dan sudut mulut yang membuat
wajahnya nampak ramah
sesungguhnya pemuda berusia 20
tahun ini sangat menarik. “Terus apalagi yang diajarin
buku itu?” tanyaku
“Ya macam – macam Tan..
termasuk refleksiologi”
jawabnya cepat.
“Refleksi, kayak pijat refleksi gitu………?” tanyaku
“Iya betul” jawabnya lagi. Pikiran untuk menggodanya
semakin kuat menerpa hatiku
dan sikap sopan serta malu –
malu pemuda ini menjadikanku
semakin ingin menggodanya. “Berarti kamu sudah bisa
dong..?” tanyaku
“Wah nggak tahu Tante..belum
pernah dipraktekan, kan nggak
gampang mencari sukarelawan
untuk jadi kelinci percobaan” jawabnya tersenyum.
“Ya udah…kebetulan Tante lagi
santai..ayo kamu praktek
ilmumu” Tanpa menunggu aku pindah
kesofa panjang dan telungkup
disana. “Lho..kok diam…?, ayo kamu
coba refleksi yang kamu
pelajari” kataku dan saat aku
mendongak aku melihat
wajahnya seperti tidak percaya
menatapku. “Nggak..ah…Dino nggak
berani…”jawabnya
“Iya deh…Tante sudah
tua….pasti kamu segan ya
merefleksi orang tua” kataku
menggoda “Ih.. Tante sama sekali nggak
tua, Tante cantik sekali”
jawabnya dan terkejut sendiri
dengan pujiannya
“Cantik?, memang kamu pikir
tante cantik ?” tanyaku “Tapi……….”Jawabnya ragu
“Tapi apa..? pelan pelan saja..,
jangan pakai tenaga dulu…” aku
meyakinkannya walau aku tahu
maksudnya ‘tidak berani’ itu
bukan masalah pijatnya. Dengan wajah seakan – akan
‘apa boleh buat’ Dino
beringsut dan duduk diujung sofa
dekat kakiku.
Tangannya agak basah, dingin
dan sedikit gemetar ketika ia menyentuh telapak kakiku.
“Kok tanganmu dingin sih…?”
tanyaku
“Nggak apa – apa kok
Tan..”suaranya agak serak
kertika ia menjawab. Tangan kekar itu lalu mulai
memegang kaki kiriku dan
menekan tapak kakiku, hatiku
juga bergemuruh tidak
karuan..gila…masa cuma
dipegang tapak kaki saja aku mulai hangat diantara kedua
pahaku. Setelah beberapa lama ia memijat
kedua tapak kakiku akhirnya aku
yang tidak tahan
Aku berbalik mengubah posisi
dan setengan duduk dengan
berselonjor “Ah.. kamu jadi bikin Tante
pegel deh.., kamu pijitin kaki
Tante ya, pijat biasa saja Ok..?”
kataku
“Ba..baik..Tante..” Jawabnya
agak terbata “kamu duduknya agak kesini
dikit….nah…gitu” kataku
menggurui. Demikianlah Dino kini duduk
dekat pinggangku,
membelakangiku dan tangannya
memijit mijit lembut. “Mmmh..enak juga pijitan kamu
Din..terus aja keatas sampai
paha..nggak apa kok” dan
kakiku yang satunya kutekuk,
lupa kalau aku mengenakan mini
skirt sehingga pasti Dino bisa melihat celana dalamku
terpampang. pantantnya sudah diatas lututku
dan hatiku juga semakin terbawa
oleh rasa terangsang yang mulai
mempengaruhiku. Aku menggapai gelas minumku
dan mencoba minum tanpa
merubah posisi, suatu pikiran
nakal lain menyergapku dan toh
dia sedang membelakangiku,
dengan sengaja aku menumpahkan juice yang tersisa
kebadanku setelah sebelumnya
menyenggol punggungnya.
“Aduh..maaf Tante…” Kata
Dino terkejut ketika melihat

cairan juice itu membasahi perutku hingga kepaha.
“nggak apa…Din..Tante yang
salah” jawabku
“Din..tolong ambil handuk kecil
di kamar mandi ya…” katku lagi
dan dengan setengah berlari pemuda itu melesat, sempat
kulihat kalau bagian depan celana
yang dikenakannya
menggembung. Aku tersenyum. “Iya disitu yang basah..agak
keatas…”kataku ketika Dino
sudah kembali dan mengelap
pahaku yang basah
“Tapi ..basahnya kedalam …
Din..kamu tolong T ante ya.. “ kataku lalu kuangkat baju
gombrong yang kukenakan
hingga atas dan sedikit bagian
payudaraku terlihat.
Dengan teliti dan hati hati anak
muda itu mengelap tubuhku dengan handuk yang diambilnya,
sambil berlutut disamping sofa.
“Nggak apa – apa ya
Din..tolongin tante..” kataku
lagi..sambil menatap wajah yang
berada dekat dengan perutku itu. “I..I..Iya tante…jawabnya
dengan suara yang hamper tk
terdengar.
“Kebawah Din…ah… rok nya
mengganggu..lalu dengan cepat
aku meloloskan rok tennis yang kukenakan dan kini aku setengah
terbaring dengan hanya bercelan
dalam dibagian bawah.
Semakin gemetar tangan Dino
mengelap pahaku dan perutku.
“Tapi bagian dalam juga basah Din…”kataku lagi
“Lepaskan celana dalam tante
ya..biar kamu leluasa” aku
meyuruhnya Kini jelas terpampang didepan
wajahnya kemaluanku, dengan
bulu yang tercukur rapih , dan
aku agak merenggangkan kakiku
sehingga rekahannya terlihat
olehnya. Nafas pemuda itu sudah sangat
memburu dan akupun merasa
semakin basah…dengan tangan
kiriku aku mengambil handuk
yang digunakannya dan
melemparkannya entah kemana.., lalu kutuntun jari jari
tangan yang kekar itu menyentuh
dan sedikit memasuki lubang
kemaluan yang telah membasah
itu. Tangan kananku tahu tahu sudah
meremas gelembung depan
celana pemuda itu, dan dengan
lirih aku berkata “Din..kmau
sudah melihat tante punya.., boleh
tante melihat punyamu..?” Wajah yang semakin memerah
itu hanya mengangguk dan dia
berdiri didepanku membuka ikat
pinggangnya dan aku
membantunya dengan sekali
tarik aku menurunkan celana yang dikenakannya termasuk
celana dalamnya.
‘Prang’ Kemaluan yang sudah
mengeras itu berdiri dan
menunjuk depan wahaku, dan
aku sungguh harus mengagumi keindahanmya, dengan otot yang
tampak melingkar, kepala yang
besar kemerahan dan tanpa
menunggu aku mencoba
menggenggamnya. Aku yakin kalau panjangnya pasti
lebih dari delapan belas
centimeter dengan lingkar yang
besar dan buah zakar yang
menggantung, ditutupi bulu – bulu
yang agak keriting. Kedua tanganku tak henti
mengusap dan menggenggamnya
dengan sesekali tangan kiriku
mengusap buah zakarnya dan
tanpa dapt menahan kepala
kemaluan itu sudah masuk dalam mulutku.
Hanya sepertiga mungkin yang
bisa masuk mulutku.. dan lidahku
mulai menari, menjilat dan
mengecup, menghisap dan
sesekali batang kemaluan itu kugigit perlahan. Kuminta ia duduk dan kami
bertukar tempat, aku yang kini
berlutut didepannya dan ia duduk
di sofa, dengan isyarat kusuruh ia
melepaskan kaos yang
dikenakannya dan sesekali tanganku membelai dada yang
kekar itu. Aku sudah melepaskan baju
gombrong yang kukenakan…dan
kini kami sama sama sudah tak
berpakaian, aku terus menjilat
dan menghisap kemaluan Dino
dengan penuh nafsu dan desahan serta erangan tak tertahankan
keluar dari mulut pemuda itu.
“Ahhh..tante…
enak….aduh….hhh”
“Ssshhh….aaaahhh…aduh
Tante….” Denyutan dibatang kemaluan itu
semakin keras dan aku tahu
kalau pemuda itu mulai tak tahan,
dengan kepala kemaluanitu
dalam mulutku tanganku
melakukan gerakan mengocok dan tangan satunya meremas
zakarnya….
“Tanteeee…..ahhh..oohhh….ssssshhhhh”
agak berteriak pemuda itu dan
sebuah semburan kuat dari
lubang dikepala kemaluan itu mengenai belakang lidahku
membuatku hamper tersedak lalu
memenuhi mulutku dengan cairan
kental dan panas yang tanpa
berpikir kutelan habis…., namun
semburan itu tidak cuma sekali, beberapa kali dalam jumlah yang
cukup banyak, dan kecepatanku
menelan tidak sebanding dengan
kecepatan semburan itu..,
sebagian keluar dari sisi bibirku…
namun aku taatp tidak melepaskan jepitan bibirku
dikepala kemaluan keponakan
suamiku itu hingga berhenti, lalu
dengan lidahkua aku
membersihkannya, lalu
mendongak menatapnya dengan tersenyum. “Enak…?” tanyaku…?
Ia hanya mengangguk dan
tangannya mengusap kepalaku. “gantian …” bisikku dan kini
aku telentang disofa.
Kuminta Dino mengulum pentil
payudaraku dan lidahnya
bergerak sesuai perintahku. Aku
tahu kalau anak muda itu masih ‘hijau’ maka aku
‘menuntunya’ untuk
menelusuri tubuhku dengan
lidahnya dan mengajarkannya
bagaimana seharusnya dia
menggunakan lidahnya ketika mulutnya mencapai kemaluanku “ya..disitu…ahhh…..di emut Din…
emut clitoris tante…ahhhh, yah
masukan lidahmu …ohhh….”
namun irama yang tidak konstan
serta pecahnya perhatian antara
menikmati dan menyuruhnya membuatku sulit mencapai
puncak yang kudambakan. Belum lima menit Dino menjilatiku
aku melihat kalau kemaluannya
sudah mengeras lagi…dasar anak
muda…………………………. Kusuruh Dino telentang dan
dengan posisi diatas aku
mengarahkan kemaluannya
memasuki kemaluanku yang
sudah teramat basah …….dengan
perlahan aku menurunkan pinggulku dan kepala kemaluan
yang besar itu, jauh lebih besar
dari milik suamiku mulai
menembus masuk….cukup lama
aku berjuang agar kemaluan itu
bisa menembus masuk kemaluanku yang ternyata cukup
sempit untuk miliknya dan
akhirnya setelah hamper semua
terbenam aku mulai bergerak,
kedepan …kebelakang kadang
pinggulku berputar dan naik turun. Dino cukup kreatif…. Tangannya
juga bekerja meremas dan
sesekali kepalanya terangkat
mencium dan mengulum pentil
payudaraku. “Ssshh…ah.. Dino….batangmua
besar..aduh..enak….” aku mulai
meracau dan seirama denga
gerakanku, aku merasa
gelombang kenikmatan mulai
menerjang dan naik…naik….dan AAAhhhhhhhhhhh……..dengan
setengah berteriak aku mencapai
orgasmeku, orgasme yang sangat
dahsyat yang sudah betahun
tahun tidak pernah bisa diberikan
suamiku.
Aku ambruk didada pemuda itu
dan bibirku mencari bibirnya,
kami berciuman cukup lama. Aku tahu kalau Dino masih belum
‘keluar’ lagi…, namun aku
sudah terlalu lelah untuk berada
diatas.., maka aku melepaskan
diri..menyuruhnya diatas dan kini
dengan aku dibawah kaki terbuka lebar dengan salah satu
kakiku menyangkut kesenderan
sofa dan Dino dengan mudah kali
ini memasukiku. Gerakan anak muda itu teratur
dan terasa bagaimana kemaluan
besar itu menusuk dan
mengexplorasi bagian dalam
kemaluanku hingga bagian yang
belum tersenah tersentuh oleh suamiku dan gelinjang serta
perasaan nikmta yang tak
tertahankan membuat gelombang
menuju orgasme kembali
menerjangku.
Dino semakin mempercepat
gerakannya dan aku mencoba
mengimbangi gerakannya dengan
goyangan pinggulku dan akhirnya
denga tertahan “Tante..Dino
mau keluar……” “Keluarin Din……” dan aku
menjepit pinggang pemuda itu
dengan kedua kaki yang
kutautkan sehingga kemaluannya
terbenam semakin dalam dan
akhirnya dengan erangan keras bersamaan dengan orgasmeku,
aku merasakan cairan hangat
menyemprot jauh didalam..
Suara desahan, erangan dan nafas
memburu kami terdengar jelas
dikeheningan ruangan dan akhirnya kami berdua melemas
berpelukan erat. “Din…., maafin Tante ya….,
Tante membuatmu melakukan ini,
lupa kalau Tante sudah tua”
kataku
“Tante…., Dino selalu
mengagumi Tante…tante adalah wanita paling cantik yang dino
kenal…dan Tante sama sekali
tidak tua…” jawabnya sambil
mengecup bibirku.
“Tapi ini tidak bisa jadi
kebiasaan Din…., kalau Oom tahu………..” kataku tidak
melanjutkan.
“Dino tahu, ……. Tante…jangan
kuatir” Sore itu kami banyak bercakap –
cakap dan tidak merasa perlu
mengenakan pakaian kami, dan
sebelum maghrib tiba kami
menyelesaikan permainan yang
ketiga kalinya, kali ini dia memasukan kemaluannya dalam
posisi dari belakang dan
diselesaikan dengan posisi
misionari…kembali rahimku
menerima siraman sperma
hangat yang menyemprot dan memberikanku kenikmatan yang
sudah hamper terlupakan.

Nikmatnya Polwan

Kisah ini terjadi sekitar 2010 an, saat aku masih kuliah sambil cari kerja sampingan buat biaya kuliah. Kebetulan ada temen ibuku yang punya warnet di kota ini, jadi aku kerja nungguin warnet. Shift jaga biasanya malam, mulai jam 7 sampe jam 12 malam. Tapi kadang-kadang gentian sama teman-teman yang lain, tergantung situasi lah.
Saat itu aku jaga warnet malem sendirian, harusnya sih berdua, tapi biasa lah ada aja alesan untuk ngilang. Yang heran, tumben warnet sepi banget (padahal tahun2 segitu saat orang jarang punya modem sendiri, warnet ndak pernah sepi lho). Jadinya aku santai-santai sambil browsing materi kuliah, sambil slonjor-slonjor dan nyamil kacang.
Sekitar jam 9 ada suara motor berhenti diluar. Hah, akhirnya ada pengunjung juga. Pintu kemudian dibuka, Nampak cewek masuk, bodynya tinggi, wajahnya imut sih, rambut potong pendek dan pake jaket dan celana panjang.
“Mau nge-net ada mas?” tanyanya.
“Oh, silahkan mbak…, kosong kok. Bebas milih mana saja.” Jawabku ramah sambil melihat wajah imut tersebut.

“Makasih mas, saya dipojok situ aja” dia lalu menuju bilik yang pojok, terus nglepas sepatu dan duduk (bilik warnetnya lesehan semua). Aku lihat sepatunya sepatu kulit, kayak-kayaknya bukan cewek biasa nih. Setelah duduk, dia membuka jaket, ternyata dibalik jaketnya dia memakai seragam polisi, pangkatnya Segitiga Kuning satu biji, ohh rupanya Bripda (Brigadir Polisi Dua) pangkatnya. Ohh.., seorang polwan yang manis pikirku.
“Mas, username ama passwordnya apaan nih??” tanyanya, sambil menoleh ke aku.
“Ehh.., ohh.., bebas kok mbak, langsung aja” kataku jadi sedikit gagap gara-gara terpana plus kaget..
“Okey mas, makasih”
Beberapa menit sambil browsing aku curi-curi lihat ke mbak polwan tadi. Lama-lama kok beberapa kali ketahuan lagi nyuri pandang. Akhirnya aku gak berani lagi ngliat dia. Konsentrasi aku alihkan ke monitor komputerku. Karena bosan dengan materi kuliah, aku mulai browsing situs-situs hot.
Setengah jam berlalu, tiba-tiba aku kaget saat mbak tadi sudah disampingku.
“Mas, ajari bikin email dong” katanya…
“ehh…,ehhhh…, ehhh iya” aku panic, karena monitorku isinya penuh gambar pasangan lagi adegan hot. “ayo mbak…, saya ajari” aku langsung berdiri dan mengajak mbak polwan tadi ke biliknya (supaya aku gak tengsin & terlalu lama salting didepan komputerku).
Aku mulai ngajari cara mbuat email dari dasar-dasarnya. Sambil lirak-lirik aku baca namanya, sebut saja Cindi. Cindi tampak antusias mendengar penjelasanku, kemudian mulai mencoba mempraktekkan langkah demi langkah. Aku masih grogi, bagaimana tidak, lha wong dia polwan… hiiiii. Tapi kayaknya dia yang berusaha mencairkan suasana.
“Mas sudah lama kerja diwarnet ya?” tanyanya
“Wah, baru kok mbak. Ini juga buat nambah-nambah biaya kuliah” jawabku sambil berusaha tersenyum, tapi masih kaku…. Shitt.
“wah, kok lancer banget gitu ya nge-netnya? Ehh, jangan panggil saya mbak dong. Nih, kan namaku udah terpampang jelas gini. Panggil Cindi aja ya? Kalo nama mas sapa?”
“Saya Andri mbak.., wah nggak berani manggil gitu mbak. Ngak sopan” Jawabku sambil menggerakkan mouse.
“Nggak papa kok, biar akrab. Lagian kayaknya kita seumuran ya. Aku dua puluh tiga tahun kok” paparnya blak-blakan, jarang yh cewek blak-blakan masalah umur
“Ya deh mbak, eh Cindi…, kalo saya baru dua puluh dua tahun mbak, tuaan mbak dikit dong, ngomong-ngomong kok masih pake baju dines. Habis tugas ya?” tanyaku sambil kesempatan buat mandang wajahya yang manis (buehhh…, betul-betul manis nihh)
“Iya habis ikut pengamanan di balaikota, tadi ka ada demo mahasiswi. Jadi Polwannya turun semua.”
“Ohh.., gitu. Lho mbak Cindi kok gak pulang kerumah? “ tanyaku lagi
“Nggak, tadi lihat warnet jadi pengin mampir. Sekalian belajar”
“Emang mbak Cindi rumahnya dimana?”
“Di perumahan ****, yahh agak jauh sih. “dia menjawab sambil tersenyum manis… wihhh.
“Lho, udah nikah ya mbak? (nanya nya mulai gak konsen gara-gara senyuman tadi)”
“Udah, nikah sih udah satu tahun. Suamiku sipil, kerja di expidisi. Tapi lagi ruwet nihh…, dia kecantol ama temen kerjanya, ini aku lagi ngurus cerai” katanya sambil sedikit serak.
“Ehm, maaf mbak. Lancang nanya.”
“Gak papa.., kalo mas sendiri?” Lhahh, dia balas nanya
“Belum mbak, pacar aja gak ada. Nanti-nanti lah”
“Ohh, padahal penampilan mendukung lhoh” dia menjawab sambil tersenyum lagi. Matek aku… panas dingin langsung. Apalagi tangannya sambil menyenggol bahuku… beuhhh.
“Ahh, mbak bisa aja. Ehh.., suami mbak terlalu juga ya. Mbak yang secantik ini di khianati…” agak nggombal dikit jawabanku
“Hahaha…, cantik gimana? Biasa aja ah” Sambil tangannya disenggolkan ke bahuku lagi. “Tapi, hatiku sedih sekali, makanya kadang kalo pulang kerja aku ndak langsung kerumah. Tapi jalan kemana dulu gitu”
“Lho, cantik betul lho mbak, manis tinggi langsing lagi…” entah darimana kata-kata ini kudapat, dia terlihat agak tersipu-sipu. Senyumnya makin mengembang.
“Ehmm.., makasih ya. Eh.., ngliat situs-situs yang kayak tadi dimana ya?” tanyanya agak malu-malu
“Ehhh.., yang mana ya mbak?” jawabku pura-pura bego
“Yang tadi itu lho, yang dikomputernya mas.”
“Ohh.., ehh gak papa ya mbak? Ini aku carikan alamatnya” aku mulai mengetik alamat, dan muncul gambar-gambar orang lagi bercinta berat. Aku lihat matanya menatap monitor penuh hasrat. “ini tinggal di klik link-link yang ada. Banyak kok nantinya” Sambil aku beranjak pergi, mau kembali ke tempat operator.
“Ehh, kemana mas? Temenin aku dong, siapa tau nanti ada kesulitan lagi.” Sambil tangannya meraih tanganku dan menarikku untuk duduk lagi. “Disini aja ya..” dan aku mengangguk pelan.
Kami berdua mulai browsing situs-situs xxx, dan aku merasa duduk makin merapat. Mata Cindi tak lepas dari monitor, nafasnya terdengar agak memburu (aku juga demikian sihh hehehehe…). Terasa tubuhku mulai bersentuhan dengannya, hangat dehh. Tangannya ditumpangkan kepahaku, membuat konty ku meluap meronta-ronta (waktu itu aku masih betul-betul perjaka… bayangkeunn), diusap-usap pahaku. Aku beranikan memeluk pinggangnya yang ramping dan aku rapatkan tubuhnya ke tubuhku.
“Mas, udah pernah kayak yang dikomputer ini ndak?” tanyanya pelan, agak berbisik. Wajahnya betul-betul rapat dengan wajahku, bikin aku gelagepan.
“Belum mbak, pacar aja gak punya, ciuman juga belum pernah…” jawabku jujur.
“Ehmmm…, kalau gitu…” di berdiri kemudian berjalan kepintu depan. Pintu dikunci oleh dia, kemudian tulisan closed dibalik. Lalu dia kembali ke tempatku duduk, kembali memeluk aku yang sudah betul-betul panas dingin.
“Mau nggak kayak gitu??” setengah berbisik Cindi nanya didekat telingaku, seluruh badanku jadi merinding. Bibirnya ditempelkan ke telingaku. Anjrriiiiittttt……, aku gak bisa ngomong apa-apa. Tanpa menunggu jawabanku tangannya menarik tangan kiriku, ditempelkan ke toketnya. Gak terlalu besar sih, tanganku dibimbing untuk membuat gerakan mengusap dan meremas. Setelah aku bisa gerak sendiri, tanganku dilepaskan. Kemudian tangan kanan Cindi menelusup kedalam kaosku, meremas dan memilin-milin putingku. Badanku kayak kejang semua jadinya.
“Mas, mau kan sama Cindi? Satu malam ini aku milikmu… masss” suaranya mendesah ditelingaku. Mulutnya memagut bibirku, lidahnya liar masuk kemulutku. Sementara aku mendesah-ndesah keenakan (pengalaman pertama …) tanganku semakin aktif meremas toketnya. Tangan Cindi kemudian membuka beberapa kancing baju dinasnya, ehhh… ternyata masih ada kaos dalam. Kaos dalam dia sibakkan ke atas, kemudian BH juga dia sibakkan ke atas. Tanganku ditarik lagi buat meremas-remas toketnya, aku mulai bersemangat.
Tangan Cindi menelusup ke celanaku, ****** yang udah bengkak diremas-remas…, ahhhhhh. Ubun-ubun kayak mau meledak. Sementara Cindi terus memagut seisi mulut dan lidahku. Perlhan kaosku dinaikkan keatas, bibir Cindi kemudian pindah menjelajahi dadaku. Lidahnya menjilati putingku…. Huuuuuhhhhh, sambil sesekali terasa gigitan-gigitan kecil yang sering bikin aku kaget. Terasa seluruh dadaku disapu lidahnya.., rasanya nyaman-nyaman gimana gitu, lidahnya mulai turun menjilati pusarku. Karuan aja aku mengelinjang kesana-kemari.
Perlahan tangannya membuka risluting celanaku, diturunkan sebatas lutut. Didalam cd, ****** ini mulai terasa berdesir-desir, sementara Cindi dengan buas menciumi batang kejantananku. Tak lama kemudian, cd ku dilorotkan sebatas lutut juga.
“Mas, burungnya lumayan besar ya.. emmm” sambil tangannya mengelus dan meremas-remas batangku.
“Uhhhh…, emang besar ya mbakkk???” tanyaku sambil merem melek
“Nggak terlalu besar sih, tapi pas segini nih…”
Cindi menjawab sambil tangannya mulai mengocok batangku. “Massss…., burungnya aku emut yaa??”
“Iya mbak….” Aku udah gak konsen, Cindi lalu mulai mengulum kepala dan batang burungku pelan-pelan. Lembut banget, tangan kananku dengan gemas meremas-remas rambutnya yang pendek, rapi dan hemmmm…., sangat wangi. Dan tangan kiriki meremas toket dibalik baju dinasnya…, kenyal banget.
Semakin lama kulumannya semakin cepat, aku semakin menggelinjang dan kelojotan.
“Ohhhh…, Wii.., Cindiii.., sudahhhh…, sudahhh, aku nggak tahannnnn” aku menceracau sejadi-jadinya. Baru pertama kali diemut, sama cewk manis lagi…. Wahhhh betul juga, pangkal batangku mulai terasa senut-senut.
“Cindiii.., ohhh gak tahan mbakkk…” senut-senutnya semakin kencang dan akhirnya terasa ada sesuatu menggelegak… crottt.., crottt. Spermaku keluar didalam mulut Cindi. Tapi….., aduhhhh Cindi nggak melepas batang burungku, tetap dikulum-kulum dan disedot. Terasa bukan nikmat yang sekarang, tetapi jadi geli gak tertahan.
“sudah mbakkk…, geli aku..” sambil tanganku berusaha melepas kepala Cindi dari burungku. Tak berapa lama ia melepas mulutnya dari burungku…, uhhhhhh. Seluruh badan lemas serasa tak bertulang. Cindi tersenyum melihatku, kulihat mulutnya sedikit mengecap-ngecap.
“Ehhh mbak, spermaku mbak telan ya??” tanyaku
“Iya, nggak papa kok. Sehat tuh, rasanya emang agak asin sihh. Lagian daripada nyemprot kemana-mana, bisa kena macem-macem tuhh….” Cindi menjawab sambil tersenyum genit. Tangannya mulai bergerilya lagi mengejar batang burungku yang sudah mulai mengkerut. Dipegang dan mulai dielus lagi…, aku masih menggelinjang geli…, tapi lama-lama mulai terasa hangat dan nikmat lagi. Mulutnya kembali memagut mulutku, kami berciuman dengan ganas. Aku mulai bisa mengimbangi permainannya.
“Mas, setelah ini giliranku yang dikasih kenikmatan ya?” sambil nafasnya mulai tersengal-sengal
“Ya mbak, aku puasin mbak dehh” tanganku dibimbing untuk ikut melepas celana dinas coklat miliknya. Aku plorotkan hingga sebatas lutut. Tampak celana dalam warna hitam yang menutupi gundukan. Nggak sabar sekalian aku plorotin celana dalamnya. Terlihat jembut tebal menghiasi gundukan daging. Tanganku mulai mengusap dan berusaha menyibak jembutnya, mencari sesuatu seperti yang ada di situs-situs porno.
Dengan lembut tangan Cindi membimbing tanganku, dan mengarahkan mulutku kea rah memeknya. Cuma karena celana Cuma dilorot sebatas lutut, maka agak sulit untuk sampai ke memeknya. Akhirnya lidahku dapat menjangkau memeknya, kujilat dikit-dikit dan terasa agak basah (hihihi…, agak bau keringat ya.., nggak papa). Cindi mulai mendesah lirih, aku tambah ritmenya.
“Masss…, ayo masukin aja ya…, udah nggak tahan nih..” Cindi bersuara lirih.
“Ya mbak” Aku kembali berdiri dan bersiap dengan burungku. Tapi aku kebingungan, dengan posisi celanaku yang sebatas lutut dan Cindi yang juga sama kami berdua keliatannya sama-sama bingung.
“Mbak…, masukinnya gimana nih??”
“Ehh.., iya ya mas…., gimana kalau dari belakang saja? Aku agak nungging ya…”
“Ya deh.., terserah mbak. Aku masih bingung nih..” Lalu Cindi berbalik dan posisi merangkak, kedua pahanya direnggangkan sehingga memeknya sedikit tampak membuka.
“Sini mas, masukkan…, tusuk ke yang sini yaa…” tangannya menjangkau dan memegang batangku, ditarik pelan-pelan kearah lubang memeknya yang agak basah. Sebentar kemudian, kepala burungku digesek-gesekkan ke memeknya, nikmat sekali…
Aku mulai sedikit mendorong batang burungku kelubang memeknya. Pelan-pelan, batangnya mulai ambles kedalam memek. Tanganku mulai meremas-remas pantat Cindi…. (gila, bulat banget nih pantat polwan, kenceng banget lagi. Banyak olahraga kali ya?). Terkadang tanganku menyusup kedalam baju dinasnya dan meremas-remas toketnya serta memilin putting susunya. Cindi mendesah-ndesah keenakan.
“Gimana masss??? Enakkk?… terus mas maju mundur aja….”
“Ya mbak, enak. Mbak seksi banget yahh, udah langsing pantatnya montok lagi” pujiku jujur
“Ahhh mas, bisa aja. Burung mas juga enak kok…, kuat banget, padahal baru keluar habis-habisan lho tadi…” godanya genit. “gimana mas perasaannya nggoyang polwan??”
“Ehhh…, agak deg-degan juga…”sambil pinggulku memaju mundurkan batang didalam memeknya. Sambil mataku lihat jam dinding, 22.30. tanganku semakin familiar dengan lekuk-lekuk tubuh Cindi. Pundak Cindi kemudian merendah, pantatnya sekarang benar-benar nungging, nafasnya mulai memburu tak teratur.
“Ahhhh… mass…, enakkkkk, terusss” badannya mengeliat-geliat, sesekali tampak pantat bulatnya mengejang. “ohhhh…. Ohhhhh….., ahhhhhhhh” Tampak seluruh badan Cindi mengejang beberapa saat dan kemudian mengendur pelan-pelan.
“Aku dah orgasme mass…., ayo mas terus aja sampe keluar” matanya sayu tapi mengerling manja ke arahku. “Mau ganti gaya ya mas?? Spooning aja ya? Mas pasti tau dehh… yukk”
“Ya mbak” aku pelan-pelan rebah bersama Cindi. Posisi spooning sekarang, aku peluk Cindi dari belakang sambil sku sodokkan burungku berulang-ulang dan sekuat tenaga.
“ahh…, ahhh…, ahhh” Cindi menjerit pelan, aku terus memompa
“Ahhhh mbakkk…, akuu keluarrrrr…” tubuhku mengejang dan crott…crottt. Spermaku keluar untuk kedua kalinya… Pelukanku ke Cindi bagai mencengkeram sampai Cindi sepertinya sulit bernafas.
“masss…., puas ya” ucapnya lembut dan manja…, aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku melirik jam dinding.., sudah jam 23.15.
“Ada apa sih mas, kok lihat jam??? Nggak suka ya?” Cindi merengut
“nggak mbak.., tapi udah hamper jam setengah dua belas, temenku yang aplusan jaga bentar lagi dating” jelasku
“Ohhh… kirain..” senyumnya manja kemudian kepalanya menoleh ke wajahku dan mulai memagut mulutku lagi. “ya udah…, kita beres-beres dulu yuk”
Aku melepas batangku yang mulai lemas dari memeknya, kuambil tisu untuk menahan dan membersihkan cairan disekitar memeknya.
“Makasih ya mas” sambil dia merapikan kembali seragam polwannya. Merapikn lagi rambutnya yang pendek…, aku suka sekali melihatnya.
“Mbak cantik banget dehhh”
“ahhh mass…., makasih juga. Sama-sama, aku juga sangat menikmati ini kok. Kalau bisa lain kali kita ketemuan lagi…, aku percaya kamu kok” balasnya masih dengan nada manja. “Ehh…, boleh minta nomer hp ya mas…, supaya bisa ketemuan lagi”
“Tentu mbak, mbak baik banget. Perjakaku diambil mbak lhooo…..” aku sedikit tersipu
“Ohhh…, maaf ya. Habis aku pngen banget sihhhh… semoga kamu suka dan nggak kapok” setelah rapi, dia memakai sepatu dan mau membayar internet.
“ndak usah mbak.., ini bayarannya sudah sangat berlebih kok” jawabku
“Ahhh… yaudah. Makasih ya ..” Setelah tukar menukar nomer hp, Cindi membuka pintu dan menyempatkan kissbye yang aku bales dengan lebih mesra.
Dan sejak itu kadang-kadang aku ketemuan dengan Cindi diberbagai tempat.Beberapa minggu setelah itu Cindi bercerai dengan suaminya. Hubunganku dengan Cindi hingga tahun 2012. Tahun itu Cindi udah punya suami baru, seorang perwira polisi. Aku ndak berani ketemuan lagi, dan Cindi kayaknya sekarang betul-betul sayang sama suaminya. Aku turut bersyukur saja.

Pelajaran Seks Tante April

Umurku sekarang sudah 30 tahun. Sampai sekarang aku masih hidup membujang, meskipun sebenarnya aku sudah sangat siap kalau mau menikah. Meskipun aku belum tergolong orang yang berpenghasilan wah, namun aku tergolong orang yang sudah cukup mapan, punya posisi menengah di tempat kerjaku sekarang. Aku sampai sekarang masih malas untuk menikah, dan memilih menikmati hidup sebagai petualang, dari satu wanita ke wanita yang lain. Kisahku sebagai petualang ini, dimulai dari sebuah kejadian kira-kira 12 tahun yang lalu.

Waktu itu aku masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Agus, sahabatku di sekolah. Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a"? sekedar menghilangkan kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan. Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang di desa). Jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a"? dari rumah Agus melewati tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan seperti biasa. Aku mulai gelisah, karena biasanya Agus selalu tepat janji. Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke rumah Agus, memastikan dia sudah berangkat atau belum (waktu itu HP belum musim bro, paling juga pager yang sudah ada, tapi itupun kami tidak punya).
“Sialan.. telkom ini, barang rongsokan di pasang di sini!,” gerutuku karena telpon koin yang kumasukkan keluar terus dan keluar terus. Setelah uring-uringan sebentar, akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Agus. Keputusan ini sebenarnya agak konyol, karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh dari Mall A?a,?EsXA?a,?a"? tujuan kami, belum lagi kemungkinan bersimpang jalan dengan Agus. Tapi, kegelisahanku mengalahkan pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada penjual di warung kalau-kalau Agus datang, aku langsung menyetop angkot dan menuju ke rumah Agus.
Sesampai di rumah Agus, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Agus (Papa, Mama dan adik-adik Agus, serta kadang pembantunya) pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Agus keluar dari pintu samping.
“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah?” tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah Agus, begitu juga sebaliknya Agus sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Agus, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Agus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante April, mama Agus yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante April lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante April lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante April tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante April masih berdiri di depan pintu.
“Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Agus ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin,” jawab Tante April. “Emangnya Agus nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit terheran-heran. Tidak biasanya Tante April menyebutku dengan “kamu”. Biasanya dia menyebutku dengan “nak Didik”.
“Kok bengong!” Tanya Tante April membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante April meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu.. bau,” kata Tante April sambil tersenyum. Setelah itu Tante April dan pembantunya masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja untuk.
Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya Tante April nampak keluar dari ruang tengah. Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an namun badannya masih bagus. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante April tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante April tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante April lagi. Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata Tante April sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Agus, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya?” Tanya Tante April.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen.”
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata Tante April.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante April tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante April nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.
“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante April memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.
Setelah beberapa menit, Tante April menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante April setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante April yang keluar lagi dari ruang tengah.
“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan. “Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar lebih enak,” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang disuruh Tante April. Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante April duduk di belakangku sambil mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante April sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante April kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante April membuka kaosku.
Setelah itu Tante April kembali memijitku. Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan punggungku. Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang payudara Tante April.
Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante April.
“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku itu. Tante April seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku. Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa melihat dan merasakan Tante April mengelus penisku dari luar CD-ku.
Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan. Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul keluar dan Tante April sudah menggenggamnya sambil sesekali membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi mainan Tante April.



Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut Tante April, sementara tangannya naik turun mengocok batang penisku. Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang. Aku merasakan Tante April melepaskan penisku dari mulutnya, tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.
“Sssshhhh.. creettt… creett… ” Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mani ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante April berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante April, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante April lagi.
Setelah itu aku lihat Tante April melepas T-Shirtnya, kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya. Aku terus terbelalak melihat pemandangan seperti itu. Dan Tante April seperti tidak peduli kemudian meluruskan posisi ku, kemudian dia mengangkang duduk di atasku. Selanjutnya aku merasakan penisku digenggam lagi, kali ini di arahkan ke selangkangan Tante April.
“Sleppp…. Aaaaahhhhh… ” suara penisku menembus vagina Tante April diiringi desahan panjangnya. Kemudian Tante April bergerak turun naik dengan cepat sambil mendesah-desah. Mulutnya terkadang menciumi dada, leher dan bibirku.
Ada beberapa menit Tante April bergerak naik turun, sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak lama kemudian…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh…….. ,” Tante April melenguh panjang, bersamaan dengan teriakanku yang kembali merasakan puncak yang kedua kali. Setelah itu Tante April terkulai, merebahkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pundakku.
“Terima kasih Dik…,” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.
Sejak kejadian itu, aku mengalami syok. Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit membayangkan seandainya Agus mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai terjadi pada diriku, aku mulai sering menyendiri dan melamun.
Namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan lain yang menghinggapi aku. Aku sering terbayang-bayang Tante April dia telanjang bulat di depanku, terutama waktu malam hari, sehingga aku tiap malam susah tidur. Selain seperti ada dorongan keinginan untuk mengulangi lagi apa yang telah Tante April lakukan padaku.
Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh paman dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Agus. Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Situasi seperti itu berlangsung sampai seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk sekolah. Akibat dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim sepakbola sekolahku, karena kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti latihan-latihan berat.
Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku berjalan sendirian di trotoar sepulang sekolah. Aku menuju halte yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di depan sekolahku juga ada halte untuk bus kota, namun aku memilih halte yang lebih sepi agar tidak perlu menunggu bus bareng teman-teman sekolahku.
Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku dikejutkan mobil yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku. Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya Agus. Setelah memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir. Tante April yang mengendari mobil itu, dan sendirian.
“Dik, cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang lain,” panggil Tante April sambil membuka pintu depan sebelah kiri. Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante April lebih keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan Tante April, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.” kata Tante April sambil langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit melihat Tante April beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Agus,” Tanya Tante April tiba-tiba.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Agus?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Agus nggak pernah dijemput,” jawab Tante April.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.
Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante April mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di sebuah komplek pertokoan Tante April melambatkan mobilnya sambil melihat-lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong. Setelah memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh dari pusat pertokoan, Tante April mengajak aku turun.
Setelah turun, Tante April langsung menyetop taksi yang kebetulan sedang melintas. Terlihat dia bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian langsung memanggilku supaya ikut naik taksi. Setelah masuk taksi, Tante April memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong supaya diam, kemudian dia menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan matanya, entah kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran sebuah hotel di pinggiran kota.
“Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada kamar nganggur yang habis dipakai tamu kantor tante. Nanti tante nyusul,” kata Tante April memberikan kunci kamar hotel sambil setengah mendorongku agar keluar.
Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung mencari petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke resepsionis. Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor seperti yang tertera di kunci. Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, namun hanya duduk-duduk saja di situ.
Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di pintu kamar, ternyata Tante April. Dia langsung masuk dan duduk di pinggir ranjang.
“Agus bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?!” tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada agak tinggi.
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Agus,” Tante April menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante April terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,” kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil sesenggukan. “Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu,” kata Tante April, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”
Akhirnya Tante April cerita panjang lebar tentang rumah tangganya. Tentang suaminya yang sibuk mengejar karir, sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur. Tentang kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan suaminya, serta beratnya menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.
“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa, tante nggak sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu kemarin. Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah tahu masalah tante. Sekarang kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin taksinya,” kata Tante April lirih sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan dompet.
“Nggak.. nggak usah tante.. ” aku mencegah. “Saya belum mau pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam kesedihan.” Entah pengaruh apa yang bisa membuatku seketika bisa bersikap gagah seperti itu. Aku hampiri Tante April, aku elus-elus kepalanya. Hilang sudah perasaan sungkanku padanya. Tante April kemudian memeluk pinggangku dan membenamkan kepalanya dalam pelukanku.
Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante April. Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya dari airmata yang masih mengalir. Pelahan kucium keningnya. Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami sudah saling bertemu. Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut, aku cukup lancar juga mengikuti naluri kelelakianku.
Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama makin liar. Aku mulai mengusap punggung Tante April yang masih memakai baju lengkap, dan kadang turun untuk meremas pantatnya. Tante April pun melakukan hal yang sama padaku.
Tante April sepertinya kurang puas bercumbu dengan pakaian lengkap. Tangannya mulai membuka kancing baju seragam SMU-ku, kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku. Kemudian dia melepaskan pelukanku dan berdiri. Pelan-pelan dia membuka pakain luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH. Meskipun aku sudah melihat Tante April telanjang, tapi pemandangan yang sekarang ada di depanku jauh membuat nafsuku bergejolak, meskipun masih tertutup CD dan BH. Aku langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah dinding, sampai kepala Tante April membentur dinding, meski tidak begitu keras.
“Ah, pelan-pelan doonnng,” kata Tante April manja diiringi desahannya desahannya.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante April, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante April tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku. Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante April itu dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.
Setelah itu Tante April membantuku membuka pengait BH-nya yang ada di belakang. Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka BH-nya. Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua buah dada Tante April yang cukup besar itu, sedang Tante April mulai mengelus dan kadang mengocok penisku yang sudah sangat tegang.
Kemudian tante setengah menjambak Tante April mendorong kepalaku di arahkan ke buah dadanya yang sebelah kiri. Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap dan jilati mengikuti naluriku.
“Aaaaahh….. oooouhghhh… ” desahan Tante April makin keras sambil tangannya tak berhenti mempermainkan penisku.
Beberapa kali aku isap puting susu Tante April bergantian, mengikuti sebelah mana yang dia maui. Setelah puas buah dadanya aku mainkan, Tante April mendorong tubuhku pelan ke belakang. Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke arah ranjang. Sampai di pinggir ranjang, Tante April sengaja menjatuhkan dirinya sehingga sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya, sementara kakinya dan kakiku masih menginjak lantai. Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian aku bantu sehinggap Tante April kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.
Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi pemandangan di depanku. Tante April yang telentang dengan nafas memburu dan mata agak saya menatapku. Gundukan di selangkangannya yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang, seperti menyembul didukung oleh kakinya yang masih menjuntai ke lantai. Bibir vaginanya nampak mengkilap terkena cairan dari dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa menilai dan membanding-bandingkan buah dada, mana yang kencang, bagus dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang bisa aku perhatikan).
“Sini sayaangg.. ,” panggil Tante April yang melihat aku berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya. Aku menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Tapi, Tante April menahanku. Nampak dia menggeleng sambil memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah. Terus didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang vaginanya. Setelah itu Tante April berusaha agar mulutku menempel ke vaginanya. Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan sangat asing bagiku, aku agak melawan.
Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia bangun. Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya tubuhku. Sempat aku melihat bibirnya tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di atas mulutku.
“Bleepp… ” aku agak gelagapan saat vagina Tante April ditempel dan ditekankan di mulutku. Tante April memberi isyarat agar aku tidak melawan, kemudian pelan-pelan vaginanya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya mendesis-desis tidak karuan. Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari vagina Tante April, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya. Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku sehingga masuk ke lubang vagina Tante April.
“Oooohhh… sssshhh… pinter kamu sayang… oh… ” gerakan Tante April makin cepat sambil meracau. Tiba-tiba, dia memutar badannya. Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan yang luar biasa setelah penisku masuk ke mulut Tante April. Aku merasakan kepala penisku dikulum dan dijilatinya, sambil tangannya mengocok batang penisku. Sementara itu, vaginanya masih menempel dimulutku, meskipun gesekannya sudah mulai berkurang. Sambil menikmati aku mengelus kedua pantat Tante April yang persis berada di depan mataku.
Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante April mulai berputar dan bergeser. Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku yang tegak.
“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku menancap sempurna di dalam vagina Tante April diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.
Tante April bergerak naik turun sambil mulutnya meracau tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah Tante April, kali ini aku tidak pasif. Aku meremas kedua buah dada Tante April yang semakin menambah tidak karuan racauannya. Rupanya, aksi Tante April itu tidak lama, karena kulihat tubuhnya mulai mengejang. Setengah menyentak dia luruskan kakinya dan menjatuhkan badannya ke badanku.
“Ooooooooohhh…. Aaaaaaaaahhh….. ” Tante April ambruk, terkulai lemas setelah mencapai puncak.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk penisku dari posisi atas. Tante April terus membelai rambut dan wajahku, tanpa berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian aku mempercepat sodokanku, karena terasa ada bendungan yang mau pecah.
“Tanteeeeee……. Oooooohhh……. ” gantian aku yang melenguk panjang sambil membenamkan penisku dalam-dalam. Tante April menarik tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat aku mencapai puncak.
Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan, aku dan Tante April terus ngobrol sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante April banyak memberi tahu tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta bagaimana meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.
Setelah jam 4 sore, Tante April mengajak pulang. Aku sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali lagi. Tapi Tante April berkeras menolak.
“Tante janji, kamu masih terus bisa menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap seperti biasa, terutama pada Agus. Dan kamu harus kembali ke tim sepakbola. Janji?”
“He-em,” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.
Sebelum aku dan Tante April memakai pakaian masing-masing, aku sempatkan mencium bibir Tante April dan tak lupa bibir bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante April memberiku ongkos taksi dan menyuruhku pulang duluan.
Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku sudah normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku, yang untungnya masih diterima. Dari sepakbola itulah yang kemudian memuluskan langkahku mencari kerja kelak. Dan Tante April menepati janjinya. Dia benar-benar telah menjadi pasangan kencanku, dan guru sex-ku sekaligus. Paling sedikit seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah tempat, dari hotel satu ke hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja kami melakukannya memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak diketahui orang lain, terutama keluarga Tante April.
Sejak itu pula aku mengalami perubahan yang cukup drastis, terutama dalam pergaulanku dengan teman-teman cewek. Aku yang awalnya dikenal pemalu dan jarang bergaul dengan teman cewek, mulai dikenal sebagai play boy. Sampai lulus SMU, beberapa cewek baik dari sekolahku maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan beberapa di antaranya berhasil kuajak ke tempat tidur. (Lain waktu, kalau sempat saya ceritakan petualangan saya tersebut).
Begitulah kisah awalku dengan Tante April, yang akhirnya merubah secara drastis perjalanan hidupku ke depannya. Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante April, meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali. Meskipun dari segi daya tarik seksual Tante April sudah jauh menurun, namun aku tidak mau melupakannya begitu saja. Apalagi, Tante April tidak pernah berhubungan dengan pria lain, karena dianggapnya resikonya terlalu besar.
Begitulah, Tante April yang terjepit antara hasrat seksual menggebu yang tak terpenuhi dengan status sosial yang harus selalu dijaga.